Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda
anggota.
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan
kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat
buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat
dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja
bersama yang sedang berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
mencapai kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku,
tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial
Pasal 136
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan
oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang diatur dengan undang-undang.
Paragraf 2
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan
serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai
sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 138
(1)
Pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain
untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan
tidak melanggar hukum.
(2)
Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi
pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan
umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan
jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu
kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140
(1)
Sekurang-kurangnya dalam
waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan
secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat.
(2)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.
waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b.
tempat mogok kerja;
c.
alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d.
tanda tangan ketua dan
sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat
pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3)
Dalam hal mogok kerja akan
dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai
koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4)
Dalam hal mogok kerja
dilakukan tidak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka demi
menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat
mengambil tindakan sementara dengan cara:
a.
melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
b.
bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Pasal 141
(1)
Instansi pemerintah dan pihak
perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2)
Sebelum dan selama mogok
kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya
pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak
yang berselisih.
(3)
Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus
dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan
pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4)
Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka
pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berwenang.
(5)
Dalam hal perundingan tidak
menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka atas
dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh
atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau
dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
Pasal 142
(1)
Mogok kerja yang dilakukan
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal
140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2)
Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 143
(1)
Siapapun tidak dapat
menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk
menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan
damai.
(2)
Siapapun dilarang melakukan
penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus
serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah,
tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang:
a.
mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b.
memberikan sanksi atau
tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus
serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan
mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang
sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak
mendapatkan upah.
Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)
Pasal 146
(1)
Penutupan perusahaan (lock
out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian
atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya
perundingan.
(2)
Pengusaha tidak dibenarkan
melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan
sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh.
(3)
Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pasal 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang
dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum
dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia,
meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali
telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas
bumi, serta kereta api.
Pasal 148
(1)
Pengusaha wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum
penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.
waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan
b.
alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 149
(1)
Pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan
penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148
harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari,
tanggal, dan jam penerimaan.
(2)
Sebelum dan selama penutupan
perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang
menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3)
Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus
dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan
pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagai saksi.
(4)
Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka
pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan
perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
(5)
Apabila perundingan tidak
menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka atas
dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh,
penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk
sementara atau dihentikan sama sekali.
(6)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila:
a.
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b.
pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam
undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di
badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
Pasal 151
(1)
Pengusaha, pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus
mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2)
Dalam hal segala upaya telah
dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka
maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan
serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
(3)
Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan
persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152
(1)
Permohonan penetapan
pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang
menjadi dasarnya.
(2)
Permohonan penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima oleh lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3)
Penetapan atas permohonan
pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan
hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
(1)
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
a.
pekerja/buruh berhalangan
masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.
pekerja/buruh berhalangan
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.
pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.
pekerja/buruh menikah;
e.
pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.
pekerja/buruh mempunyai
pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya
di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g.
pekerja/buruh mendirikan,
menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar
jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h.
pekerja/buruh yang mengadukan
pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang
melakukan tindak pidana kejahatan;
i.
karena perbedaan paham,
agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,
kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.
pekerja/buruh dalam keadaan
cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan
kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2)
Pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal:
a.
pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b.
pekerja/buruh mengajukan
permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa
ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pertama kali;
c.
pekerja/buruh mencapai usia
pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
atau
d.
pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 155
(1)
Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
(2)
Selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik
pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
(3)
Pengusaha dapat melakukan
penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses
pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta
hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 156
(1)
Dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima.
(2)
Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
a.
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b.
masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c.
masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d.
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e.
masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f.
masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g.
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h.
masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i.
masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3)
Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a.
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b.
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c.
masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (duabelas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d.
masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e.
masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f.
masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (duapuluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g.
masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (duapuluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h.
masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4)
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c.
penggantian perumahan serta
pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (limabelas perseratus) dari uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat;
d.
hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(5)
Perubahan perhitungan uang
pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian
hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 157
(1)
Komponen upah yang digunakan
sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja,
dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri
atas:
a.
upah pokok;
b.
segala macam bentuk tunjangan
yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan
keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada
pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar
pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara
harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2)
Dalam hal penghasilan
pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan
sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3)
Dalam hal upah pekerja/buruh
dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau
komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata
per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak
boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
(4)
Dalam hal pekerjaan
tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan,
maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua
belas) bulan terakhir.
Pasal 158
(1)
Pengusaha dapat memutuskan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah
melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
a.
melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b.
memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c.
mabuk, meminum minuman keras
yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d.
melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e.
menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f.
membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g.
dengan ceroboh atau sengaja
merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan
yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h.
dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i.
membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j.
melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2)
Kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
a.
pekerja/buruh tertangkap tangan;
b.
ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c.
bukti lain berupa laporan
kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang
bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan
kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud dalam Pasal 156 ayat
(4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili
kepentingan pengusaha secara langsung, diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 159
Apabila pekerja/buruh
tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan
ke
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 160
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak
yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan
pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib
memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi
tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b.
untuk 2 (dua)orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c.
untuk 3 (tiga) orang tanggungan: 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d.
untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2)
Bantuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin
terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang
berwajib.
(3)
Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam)
bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam
proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Dalam hal pengadilan
memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5)
Dalam hal pengadilan
memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan
pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6)
Pemutusan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7)
Pengusaha wajib membayar
kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan
pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan
diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara
berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan,
kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
Pasal 162
(1)
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2)
Bagi pekerja/buruh yang
mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak
mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah
yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3)
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.
mengajukan permohonan
pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b.
tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c.
tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4)
Pemutusan hubungan kerja
dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1)
Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi
perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan dan pekerja/ buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja,
maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
(2)
Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status,
penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia
menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3),
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
(1)
Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup
yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus
selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2)
Kerugian perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan
keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3)
Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup
bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan
karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan
efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena
pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah
uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang
pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
(1)
Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia
pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada
program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka
pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2)
Dalam hal besarnya jaminan
atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah
uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka
selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3)
Dalam hal pengusaha telah
mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang
iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang
premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4)
Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5)
Dalam hal pengusaha tidak
mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja
karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan
kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
(6)
Hak atas manfaat pensiun
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang
bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 168
(1)
Pekerja/buruh yang mangkir
selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan
secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat
diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2)
Keterangan tertulis dengan
bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diserahkan
paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3)
Pemutusan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan
berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)
dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 169
(1)
Pekerja/buruh dapat
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan sebagai berikut:
a.
menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b.
membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c.
tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d.
tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e.
memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f.
memberikan pekerjaan yang
membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
(2)
Pemutusan hubungan kerja
dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh berhak
mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3)
Dalam hal pengusaha
dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh
yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (3).
Pasal 170
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan
tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal
158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan
serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171
Pekerja/buruh
yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana
dimaksud pada Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162,
dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan
hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling
lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan
kerjanya.
Pasal 172
Pekerja/buruh yang mengalami sakit
berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat
melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan
dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).
BAB XIII
PEMBINAAN
Pasal 173
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
(2)
Pembinaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat mengikutsertakan organisasi pengusaha,
serikat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.
(3)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.
Pasal 174
Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan,
pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan
organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 175
(1)
Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.
(2)
Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh
pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan
independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1)
Pengawasan ketenagakerjaan
dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2)
Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 179
(1)
Unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2)
Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 180
Ketentuan
mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang
pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 wajib:
a.
merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b.
tidak menyalahgunakan kewenangannya.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
(1)
Selain penyidik pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas
ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai
negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
c.
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d.
melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e.
melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
f.
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g.
menghentikan penyidikan
apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3)
Kewenangan penyidik pegawai
negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183
(1) Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 184
(1)
Barang siapa melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 185
(1)
Barang siapa melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1),
Pasal 139, Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 186
(1)
Barang siapa melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat
(2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling
singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat
(1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi
pidana denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau
denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau
ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 190
(1)
Menteri atau pejabat yang
ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran
ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15,
Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1),
Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
teguran;
b.
peringatan tertulis;
c.
pembatasan kegiatan usaha;
d.
pembekuan kegiatan usaha;
e.
pembatalan persetujuan;
f.
pembatalan pendaftaran;
g.
penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi;
h.
pencabutan ijin.
(3)
Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur
ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau
belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
sumber : http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_13_03.htm